Di antara perkara penting yang dijelaskan dalam kitab Akidah Syarhus Sunnah Imam Al-Muzani adalah perihal qashar shalat saat safar dan pilihan puasa ataukah tidak saat safar.
Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,
وَقَصْرُ الصَّلاَةِ فِي اْلأَسْفَارِ , وَالتَّخْيِيْرُ فِيْهِ بَيْنَ الصِّيَامِ وَاْلِإفْطَارِ فِي اْلأَسْفَارِ إِنْ شَاءَ صَامَ , وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ
Mengqashar shalat dalam safar ada tuntunannya. Kemudian bolehnya berpuasa atau tidak dalam keadaan safar itu pilihan, jika mau boleh berpuasa, boleh juga tidak.
Apa alasan bahasan hukum diangkat dalam bahasan akidah?
Termasuk bagian dari ajaran Nabi (sunnah Nabi) adalah qashar shalat saat safar. Ini adalah bagian dari perihal hukum syari. Imam Al-Muzani menyampaikan permasalahan ini dalam pembahasan akidah beliau karena ada yang menyelisihi hal ini, boleh jadi ada di masa beliau. Jadi, pengungkapan poin ini adalah untuk mengingkari bidah dan menjelaskan bahwa hal seperti ini ada ajarannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat Ta’liqah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani, hlm. 127.
Syaikh Dr. Muhammad bin ‘Umar Bazmul juga menyampaikan hal yang sama bahwa penyebutan masalah hukum ibadah karena ada yang menyelisihi masalah ini dari ahli bidah di masa Imam Al-Muzani. Lihat Iidhah Syarh As-Sunnah li Al-Muzani, hlm. 119.
Masalah Qashar Shalat Saat Safar
Pengertian safar
Secara bahasa, safar berarti “وضح وانكشف” (jelas dan tersingkap). (Al-Mu’jam Al-Wasith, hlm. 457)
Seseorang yang bepergian dinamakan musafir karena musafir itu bisa dikenali wajahnya oleh banyak orang; dengan bepergian, seseorang juga bisa mengenal tempat-tempat yang belum dia ketahui sebelumnya; jati dirinya yang sebenarnya bisa dikenal oleh orang banyak.
Dalam Mu’jam Lughah Al-Fuqaha, hlm. 245, safar berarti,
الخُرُوْجُ عَنْ عِمَارَةِ مَوْطِنِ الاِقَامَةِ قَاصِدًا مَكَانًا يَبْعُدُ مَسَافَةُ يَصِحُّ فِيْهَا قَصْرٌ
“Keluar bepergian meninggalkan kampung halaman dengan maksud menuju tempat yang jarak antara kampung halamannya dengan tempat tersebut membolehkan orang yang bepergian untuk mengqashar shalat.”
Qashar shalat itu apa?
Yang dimaksud qashar adalah menjadikan shalat empat rakaat menjadi dua rakaat ketika safar, baik dilakukan ketika dalam keadaan khauf (genting) maupun keadaan aman.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat-(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS. An-Nisa’: 101)
Adapun dalil dari hadits, yaitu riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma; ia berkata,
صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَكَانَ لاَ يَزِيدُ فِى السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ ، وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ – رضى الله عنهم
“Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidaklah pernah menambah lebih dari dua rakaat (untuk shalat yang asalnya empat rakaat, pen.) ketika safar beliau. Abu Bakar, ‘Umar, dan Utsman radhiyallahu ‘anhum juga melakukan seperti itu.” (HR. Bukhari, no. 1102)
Shalat yang boleh diqashar
Shalat yang boleh diqashar adalah shalat ruba’iyyah, yaitu shalat empat rakaat. Shalat tersebut adalah shalat Zhuhur, ‘Ashar, dan Isya. Inilah yang menjadi kesepakatan (ijma’) para ulama. Tidak ada qashar shalat untuk shalat Shubuh dan shalat Maghrib.
Demikianlah karena qashar shalat artinya menggugurkan separuh. Jika shalat subuh dan maghrib digugurkan separuh, maka tidak ada separuh lagi yang disyariatkan.
Intinya, qashar shalat hanya berlaku untuk shalat empat rakaat yang kemudian dijadikan dua rakaat. Adapun untuk shalat sunnah, tidak ada qashar shalat. Begitu pula tidak ada qashar shalat dalam shalat nadzar. Demikian keterangan dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 27:280.
Saat safar, apakah wajib mengqashar shalat?
Asalnya shalat itu sempurna, bukan qashar. Apakah hukum qashar shalat saat safar itu wajib (fardhu) ataukah boleh (mubah)?
Ulama Syafi’iyyah dan ulama Hanbali berpendapat bahwa qashar shalat itu dibolehkan dan merupakan keringanan bagi musafir, karena safar itu umumnya menyulitkan musafir. Dalil akan bolehnya qashar adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat-(mu), jika kamu takut diserang oleh orang-orang kafir.” (QS. An-Nisa’: 101)
Dalam ayat, qashar shalat dikaitkan dengan rasa takut, karena pada umumnya safar seperti itu.
Qashar adalah suatu keringanan (rukhsah). Dalam hadits disebutkan,
صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ
“(Qashar shalat) adalah sedekah yang diberikan oleh Allah kepada kalian, maka terimalah sedekah tersebut.” (HR. Muslim, no. 686)
Mayoritas ulama berpendapat bahwa qashar shalat itu boleh karena merupakan bagian dari rukhsah (keringanan). Inilah pendapat jumhur ulama dari Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanbali. Kemudian mereka berselisih pendapat manakah yang lebih afdhal: apakah qashar shalat ataukah itmam (tanpa qashar).
Adapun ulama Hanafiyyah, salah satu pendapat dari Malikiyyah, dan ulama Zhahiriyah berpandangan bahwa qashar shalat adalah bagian dari kewajiban. Yang berpendapat seperti ini berselisih pendapat lagi: apakah shalatnya batal ataukah tidak jika shalat tersebut dikerjakan secara sempurna (itmam). Dalil yang menyatakan bahwa mengqashar shalat itu wajib saat safar adalah hadits,
فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فِى الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَزِيدَ فِى صَلاَةِ الْحَضَرِ
“Dulu shalat diwajibkan sebanyak dua rakaat – dua rakaat ketika tidak bersafar dan ketika bersafar. Kewajiban shalat dua rakaat ini masih berlaku ketika safar. Namun jumlah rakaatnya ditambah ketika tidak bersafar.” (HR. Bukhari, no. 350 dan Muslim, no. 685)
Di antara pendalilan jumhur atau mayoritas ulama adalah dari hadits yang menceritakan praktik amalan ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Yazid; ia berkata,
صَلَّى بِنَا عُثْمَانُ بِمِنًى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَقِيلَ ذَلِكَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ فَاسْتَرْجَعَ ثُمَّ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِمِنًى رَكْعَتَيْنِ وَصَلَّيْتُ مَعَ أَبِى بَكْرٍ الصِّدِّيقِ بِمِنًى رَكْعَتَيْنِ وَصَلَّيْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِمِنًى رَكْعَتَيْنِ فَلَيْتَ حَظِّى مِنْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ رَكْعَتَانِ مُتَقَبَّلَتَانِ
“’Utsman pernah shalat bersama kami di Mina sebanyak empat rakaat. Hal itu lantas diceritakan kepada ‘Abdullah bin Mas’ud. Kemudian Ibnu Mas’ud ber-istirja’ (mengucapan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un). Kemudian Ibnu Mas’ud berkata, ‘Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mina sebanyak dua rakaat, bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq di Mina sebanyak dua rakaat, dan bersama ‘Umar bin Al-Khatthab di Mina sebanyak dua rakaat. Andai saja ‘Utsman mengganti empat rakaat menjadi dua rakaat yang diterima.” (HR. Bukhari, no. 1084 dan Muslim, no. 695)
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar; ia berkata,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِمِنًى رَكْعَتَيْنِ وَأَبُو بَكْرٍ بَعْدَهُ وَعُمَرُ بَعْدَ أَبِى بَكْرٍ وَعُثْمَانُ صَدْرًا مِنْ خِلاَفَتِهِ ثُمَّ إِنَّ عُثْمَانَ صَلَّى بَعْدُ أَرْبَعًا. فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ صَلَّى أَرْبَعًا وَإِذَا صَلاَّهَا وَحْدَهُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat di Mina sebanyak dua rakaat, begitu pula Abu Bakr setelah itu, dan ‘Umar setelahnya. Adapun ‘Utsman pada masa-masa awal kekhalifahannya melaksanakan qashar shalat. Namun setelah itu ia melaksanakan shalat empat rakaat.” Jika Ibnu ‘Umar shalat (bermakmum) di belakang imam, ia shalat sempurna empat rakaat (tanpa qashar). Adapun jika ia shalat sendiri, ia shalat dua rakaat. (HR. Muslim, no. 694)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Ibnu Mas’ud berandai-andai jika saja ‘Utsman mau mengerjakan dua rakaat, bukan empat rakaat seperti yang ia lakukan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman pada masa-masa awal khilafahnya melakukan qashar shalat. Maksud Ibnu Mas’ud, praktik amalan yang dilakukan ‘Utsman itu menyelisihi amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula menyelisihi praktik dari Abu Bakr dan ‘Umar. Oleh karenanya, Ibnu Mas’ud masih memperbolehkan shalat dengan sempurna (tanpa qashar). Ibnu Mas’ud juga pernah shalat bermakmum di belakang ‘Utsman radhiyallahu ‘anhu dengan sempurna tanpa qashar. Seandainya menurut Ibnu Mas’ud qashar shalat itu wajib, tentu ia tidak memperbolehkan untuk meninggalkan qashar shalat ketika seseorang bermakmum (dalam shalat) di belakang siapa pun.” (Syarh Shahih Muslim, 5:182)
Alasan jumhur atau mayoritas ulama, amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang semata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan terus-menerus tidaklah menunjukkan bahwa amalan tersebut wajib. Dengan demikian, kesimpulannya adalah qashar shalat itu tidak wajib, namun dia bagian dari rukhsah (keringanan).
Intinya:
- Ketika seorang musafir bersafar, lebih afdhal baginya untuk mengqashar shalat dibandingkan tidak menqashar, jika dia menjadi makmum di belakang imam yang juga musafir atau bila dia shalat sendirian.
- Ketika seorang musafir bermakmum di belakang imam yang mukim (tidak bersafar) yang mengerjakan shalat tanpa mengqashar, maka musafir tersebut tetap mengerjakan shalat tanpa mengqashar.
Catatan: Perlu diingat bahwa mengqashar shalat tetap boleh dilakukan walaupun safar yang dilakukan penuh kemudahan. Keringanan qashar shalat itu ada karena seseorang melakukan safar, bukan karena dia ditimpa kesulitan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ
“Allah ‘Azza wa Jalla melepaskan dari musafir separuh shalat.” (HR. Abu Daud, no. 2408 dan Tirmidzi, no. 715. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Syarat qashar shalat
1- Niat untuk bersafar.
Bila seseorang ingin mengqashar shalat, dipersyaratkan baginya untuk berniat safar. Ini syarat dari seluruh fuqaha’ (ulama fikih). Namun ulama Syafi’iyyah, Malikiyyah, dan Hanbali mempersyaratkan bahwa safar yang membuat shalat boleh diqashar adalah safar yang bukan untuk tujuan bermaksiat. Musafir yang bermaksiat saat safar tidak boleh mengqashar shalat, misalnya perampok jalanan. Pelaku maksiat tidak boleh mendapat keringanan. Jika keringanan itu diperbolehkan pada safar yang bertujuan untuk maksiat, itu sama saja mendukung maksiat.
Bila pada awal safar si musafir berniat untuk bermaksiat, lalu di tengah perjalanan dia mengurungkan niatnya dan dia bertaubat, dia boleh mengqashar shalat selama safar yang tersisa, sepanjang safar tersebut sudah memenuhi jarak untuk boleh mengqashar.
2- Sudah mencapai jarak safar.
Seseorang baru boleh mengqashar shalat jika dia sudah mencapai jarak yang ditentukan oleh para fuqaha’ (ulama fikih) sebagai jarak yang bisa disebut telah bersafar. Jika telah memenuhi jarak tersebut, barulah dia disebut sebagai musafir.
Jarak yang bisa dinilai safar adalah jika seseorang telah mencapai 48 mil atau 85 km.
Inilah pendapat mayoritas ulama kalangan Syafi’i, Hanbali, dan Maliki. Dalil mereka adalah hadits,
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهم – يَقْصُرَانِ وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ وَهْىَ سِتَّةَ عَشَرَ فَرْسَخًا
“Dahulu Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum mengqashar shalat dan tidak berpuasa ketika bersafar menempuh jarak 4 burud (yaitu 16 farsakh).” (HR. Bukhari secara mu’allaq [tanpa sanad]. Di-washal-kan [disambungkan] oleh Al-Baihaqi, 3:137. Lihat Al-Irwa’, hlm. 565)
3- Sudah keluar dari bangunan terakhir di negerinya (kampungnya).
Qashar shalat baru bisa dilakukan jika seseorang keluar dari tempat ia bermukim. Jika ia keluar dari rumah terakhir dari kotanya, saat itu barulah ia bisa menqashar shalatnya menjadi dua rakaat. Dalilnya,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضى الله عنه – قَالَ صَلَّى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا ، وَبِذِى الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَيْنِ
“Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu; ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat di Madinah sebanyak empat rakaat, dan di Dzul Hulaifah (saat ini disebut dengan Bir Ali) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sebanyak dua rakaat.” (HR. Bukhari, no. 1089 dan Muslim, no. 690)
Demikianlah pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan,
ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبُنَا أَنَّهُ إِذَا فَارَقَ بُنْيَان البَلَدِ قَصَرَ وَلاَ يَقْصُر قَبْلَ مُفَارَقَتِهَا وَاِنْ فَارَقَ مَنْزِلَهُ وَبِهَذَا قَالَ مَالِكٌ وَأَبُوْ حَنِيْفَةَ وَاَحْمَدُ وَجَمَاهِيْرُ العُلَمَاءِ
“Menurut Mazhab Syafi’iyyah, seorang musafir baru boleh mengqashar shalat setelah ia berpisah dari bangunan terakhir di negerinya; ia tidak boleh mengqashar shalat sebelum ia berpisah dari negerinya walaupun ia baru saja keluar dari rumahnya. Ini juga menjadi pendapat Malik, Abu Hanifah, Ahmad, dan mayoritas (jumhur) ulama.” (Al-Majmu’, 4:349)
4- Disyaratkan berniat qashar untuk setiap shalat.
Untuk mengqashar shalat, disyaratkan sudah ada niat mengqashar sejak takbiratul ihram untuk setiap shalat.
Lama waktu untuk qashar shalat
Disebutkan dalam Majmu’ah Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyyah, “Ada seseorang yang ingin bersafar ke suatu tempat. Dia ingin bermukim di tempat tersebut selama sebulan atau lebih. Apakah shalatnya dikerjakan secara tamam (sempurna, yaitu empat rakaat untuk shalat ruba’iyyah) ataukah diqashar (menjadi dua rakaat untuk shalat ruba’iyyah)?”
Jawaban Ibnu Taimiyyah rahimahullah, “Jika seseorang berniat mukim selama empat hari atau kurang dari itu, shalatnya boleh diqashar. Sebagaimana yang dipraktikkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; beliau mengerjakan shalat di Mekkah kala beliau mukim selama empat hari di sana. Saat itu beliau mengqashar shalat.
Adapun jika mukimnya lebih dari empat hari, para ulama berselisih pendapat. Yang lebih hati-hati adalah mengerjakan shalat secara sempurna (tamam), yaitu tidak diqashar.
Adapun jika ia mengatakan, “Besok aku akan bersafar lagi,” atau ia berkata bahwa setelah besok, dia akan bersafar lagi dan ia tidak berniat untuk mukim, maka ia boleh terus-terusan mengqashar shalat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tinggal di Mekkah selama sekitar sepuluh hari dan beliau mengqashar shalat. Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetap di Tabuk selama 20 malam. Ketika itu beliau mengqashar shalat. Wallahu a’lam. (Majmu’ah Al-Fatawa, 24:17)
Jika musafir berniat untuk mukim lebih dari empat hari, sikap yang lebih hati-hati adalah dia mengerjakan shalat secara sempurna (tidak diqashar). Inilah pendapat jumhur atau mayoritas ulama dari ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanbali.
Di antara dalil yang digunakan oleh jumhur ulama adalah hadits Al-‘Ala’ bin Al-Hadhrami. Ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُقِيمُ الْمُهَاجِرُ بِمَكَّةَ بَعْدَ قَضَاءِ نُسُكِهِ ثَلاَثًا
“Orang Muhajirin bermukim selama tiga hari di Mekkah setelah menunaikan manasiknya.” (HR. Muslim, no. 1352)
Ulama Syafi’iyyah berdalil bahwa jika seorang musafir menetap (mukim) selama tiga hari maka tidaklah berlaku hukum mukim kepadanya. Orang dengan keadaan seperti itu tetap dikenai hukum musafir. Ulama Syafi’iyyah menyatakan bahwa jika musafir berniat mukim di suatu negeri selama tiga hari, selain dari hari masuknya atau keluarnya dari negeri tersebut, maka ia boleh mengambil keringanan saat safar, yaitu mengqashar shalat, tidak berpuasa, dan keringanan lainnya. Tidak berlaku baginya hukum mukim. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 9:108)
Masalah Puasa ataukah Tidak Saat Safar
Puasa ataukah tidak saat safar, itu boleh memilih, yaitu mengambil keringanan tidak berpuasa di bulan Ramadhan, ataukah tetap menjalankan puasa.
Itulah yang dimaksud ayat,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185).
Adapun puasa ketika safar adalah pilihan, bukan suatu keharusan. Karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadan. Di antara mereka ada yang berpuasa dan yang lainnya tidak berpuasa. Namun, dua pihak yang berbeda tidak saling mencela satu dan lainnya. Seandainya berpuasa tidak dibolehkan saat safar, tentu akan diingkari. Bahkan keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah berpuasa saat safar. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 2: 60).
Manakah yang paling afdal saat safar berpuasa ataukah tidak?
Rincian paling baik adalah berikut ini.
Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa.
Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa.
Kondisi ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa.
Referensi:
- Iidhah Syarh As-Sunnah li Al-Muzani. Cetakan Tahun 1439 H. Syaikh Dr. Muhammad bin ‘Umar Salim Bazmul. Penerbit Darul Mirats An-Nabawiy.
- Syarh As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Imam Al-Muzani. Ta’liq: Dr. Jamal ‘Azzun. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
- Tamam Al–Minnah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani. Khalid bin Mahmud bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Juhani. www.alukah.net.
- Ta’liqah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani. Syaikh ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr.
- Untaian Faedah dari Ayat Puasa. Muhammad Abduh Tuasikal. Penerbit Rumaysho.
Baca Juga:
—
Diselesaikan di @ Darush Sholihin, 20 Februari 2021 (8 Rajab 1442 H)
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumasyho.Com